Minggu, 03 Februari 2013

Mengenal Manajemen Pakan Sistem Penggemukan Sapi


Mengenal Manajemen Pakan Sistem Penggemukan Sapi
Oleh : Riza Imam Nugraha, S.Pt
Beberapa faktor yang sangat mempengaruhi sistem penggemukan pada ternak sapi adalah teknik pemberian pakan/ ransum, luas lahan yang tersedia, umur dan kondisi sapi yang akan digemukkan, serta lama penggemukan. Usaha penggemukan sapi perlu akan upaya untuk meningkatkan bobot sapi sebelum dijual. Banyak dijumpai para peternak tradisional mencari sapi yang telah pubertas, tetapi tubuhnya masih kurus. Tubuh yang kurus tersebut bisa jadi karena pemberian pakan yang kurang tepat. Di luar negeri, penggemukan sapi dikenal dengan sistem pasture fattening, dry lot fattening, dan kombinasi keduanya, sedangkan di Indonesia dikenal dengan sistem kereman atau sistem paron (Timor). Cara penggemukan sapi secara modern dilakukan dengan menggunakan prinsip feedlot, yaitu pemberian pakan sapi terdiri dari hijauan dan konsentrat yang berkualitas di dalam kandang.
a. Sistem dry lot fattening
Sistem dry lot fattening yaitu penggemukan sapi dengan memperbanyak pemberian pakan
konsentrat. Jumlah pemberian hijauan hanya relatif sedikit sehingga efisiensi penggunaan pakan
lebih tinggi. Perbandingan hijauan dan konsentrat berkisar antara 40:60 sampai 20:80.
Perbandingan ini didasarkan pada bobot bahan kering (BK). Penggemukan sistem ini dilakukan di dalam kandang. Pakan hijauan dan konsentrat diberikan kepada sapi di dalam kandang. Jadi, pakan harus disediakan sesuai porsi waktu yang tepat. Pada sistem penggemukan ini sebaiknya hijauan selalu tersedia. Bila sapi masih terlihat lapar, hijauan diberikan lagi sehingga akan berimplikasi pada peningkatan laju pertambahan bobot tubuh. Program penggemukan dengan system ini ada yang dimulai dari anak sapi yang masih menyusu (pedetsusu). Atau, anakan sapi perah jantan yang sejak lahir telah diberikan ransum pakan
berkualitas tinggi ditempatkan pada kandang khusus.
b. Sistem pasture fattening
Sistem penggemukan pasture fattening, yaitu sapi yang digembalakan di padang
penggembalaan sepanjang hari. Dengan sistem ini, ada ternak yang tidak dikandangkan dan ada
juga yang dikandangkan setelah malam hari atau pada saat matahari bersinar terik. Padang penggembalaan yang baik adalah padang tersebut ditumbuhi hijauan berupa rumput dan leguminosa. Sementara padang penggemabalaan yang hanya ditumbuhi rumput saja berdampak kurang baik bagi laju pertumbuhan sapi. Bila memungkinkan, padang gembalaan yang hanya ditumbuhi rumput sebaiknya ditanami leguminosa agar kualitas pakan di padang menjadi lebih baik. Leguminosa mempunyai kemampuan untuk menangkap nitrogen sehingga tanah dibawahnyamenjadi lebih subur dan baik untuk pertumbuhan rumput. Selain itu, leguminosa juga memiliki kandungan protein yang tinggi. Hal yang harus diperhatikan pada sistem ini adalah cara penggembalaan dalam rangka memanfaatkan hijauan sebaik mungkin. Pengaturan pemanfaatan hijauan jangan hanya di satu tempat saja. Bisa jadi hijauan pada satu tempat sudah habis, sedangkan di tempat lain masih belum termanfaatkan. Dengan demikian, perlu dilakukan rotasi pemanfaatan untuk mengatur pertumbuhan hijauan yang ada. Selain itu ketersediaan sumber air juga harus tercukupi.
c. Sistem kombinasi dry lot dan pasture fattening
Sistem ini merupakan perpaduan dry lot fattening. Pada sistem ini, bila musim hujan berlimpah maka sapi digembalakan di padang gembalaan dan tidak harus dikandangkan. Sementara pada musim kemarau, sapi dikandangkan dan diberi pakan penuh. Pada siang hari digembalakan di padang penggembalaan, sedangkan pada malam hari sapi dikandangkan dan diberi konsentrat. Sistem penggemukan ini membutuhkan waktu yang lebih lama daripada sistem dry lot fattening, tetapi lebih singkat daripada sistem pasture fattening. Sapi yang awalnya dipelihara di padang penggembalaan, kemudian beberapa bulan sebelum dijual diberi pakan konsentrat penuh, hasilnya lebih baik dibandingkan sapi yang dari awal pemeliharaan diberipakan hijauan dan
konsentrat secara seimbang.
d. Sistem kereman
Sistem ini sebenarnya hampir sama dengan dry lot fattening, yaitu ternak sapi diberi pakan hijauan dan konsentrat serta sapi dikandangkan selama pemeliharaan. Bedanya, sistem kereman lebih banyak dilakukan oleh peternak tradisional dan pemberian pakannya masih tergantung dengan kondisi. Bila musim hujan, sapi diberi banyak pakan hijauan, tetapi bila musim kering sapi lebih banyak diberi pakan konsentrat. Cara penggemukan sapi potong sistem kereman dilakukan dengan teknologi pemeliharaan
sebagai berikut :
1. Sapi dipelihara dalam kandang terus menerus dan tidak digembalakan. Ternak sapi hanya
sewaktu-waktu dikeluarkan, yakni pada saat membersihkan kandang dan memandikan
ternak sapi.
2. Semua kebutuhan ternak, baik berupa kandang air minum disediakan oleh peternak secara
tak terbatas.
3. Cara penggemukan sistem ini mengutamakan pemberian pakan berupa campuran rumput,
leguminosa dan makanan penguat.
4. Sapi penggemukan tidak untuk dijadikan tenagakerja, hal ini bertujuan agar makanan yang
dikonsumsi sepenuhnya diubah menjadi daging dan lemak sehingga pertumbuhan bobot
badan meningkat secara cepat.
5. Pada awal masa penggemukan, ternak sapi terlebih dahulu diberikan obat cacing.
6. Untuk meningkatkan palatabilitas / nafsu makan perlu diberikan perangsang nafsu makan
dan vitamin.
7. Lama penggemukan berkisar 4 – 10 bulan. Hal ini tergantung dari kondisi awal dan bobot
sapi yang digemukkan.

DaftarPustaka :
Yulianto. P dkk.,PembesaranSapiPotongSecaraIntensif (Jakarta: PenebarSwadaya, 2010)
Syafrialdkk.,ManajemenPengelolaanSapiPotong (Jambi: BPTP Jambi, 2007)
Sapi kurus. Sapi ini perlu digemukkan sebelum dijual agar diperoleh bobot tubuh yang diinginkan
peternak Usaha sapi sistem penggemukan kereman

Sampah Potensi Pakan Ternak Yang Melimpah

               Sampah merupakan limbah yang mempunyai banyak dampak pada manusia dan lingkungan antara lain kesehatan, lingkungan, dan sosial ekonomi. Salah satu sampah atau limbah yang banyak terdapat di sekitar kota adalah limbah pasar. Limbah pasar merupakan bahan-bahan hasil sampingan dari kegiatan manusia yang berada di pasar dan banyak mengandung bahan organik.

                         Selama ini pengolahan sampah organik hanya menitikberatkan pada pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos, padahal sampah dapat dikelola menjadi bahan bakar/sumber energi dan pakan ternak yang baik. Hal ini akan lebih bernilai ekonomis dan lebih menguntungkan. Bila sampah organik langsung dikomposkan maka produk yang diperoleh hanya pupuk organik. Namun bila diolah menjadi pakan, sampah tersebut dapat menghasilkan daging pada ternak dan pupuk organik dari kotoran ternak. Dengan demikian nilai tambah yang diperoleh akan lebih tinggi sekaligus dapat memecahkan pencemaran lingkungan dan mengatasi kekurangan pakan ternak. Membuat pakan dari sampah antara lain dapat dimulai dari pemisahan sampah organik dan anorganik, dilanjutkan dengan pencacahan, fermentasi, pengeringan, penepungan, pencampuran dan pembuatan pellet (Bestari, dkk, 2011).



Menurut Hadiwiyoto (1983), sampah pasar yang banyak mengandung bahan organik adalah sampah sampah hasil pertanian seperti sayuran, buah-buahan dan daun-daunan serta dari hasil perikanan dan peternakan. Limbah sayuran adalah bagian dari sayuran atau sayuran yang sudah tidak dapat digunakan atau dibuang. Limbah buah-buahan terdiri dari limbah buah semangka, melon, pepaya, jeruk, nenas dan lain-lain sedangkan limbah sayuran terdiri dari limbah daun bawang, seledri, sawi hijau, sawi putih, kol, limbah kecambah kacang hijau, klobot jagung, daun kembang kol dan masih banyak lagi limbah-limbah sayuran lainnya. Namun yang lebih berpeluang digunakan sebagai bahan pengganti hijauan untuk pakan ternak adalah limbah sayuran karena selain ketersediaannya yang melimpah, limbah sayuran juga memiliki kadar air yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan limbah buah-buahan sehingga jika limbah sayuran dipergunakan sebagai bahan baku untuk pakan ternak maka bahan pakan tersebut akan relatif tahan lama atau tidak mudah busuk.


Pakan Wafer
Wafer adalah salah satu bentuk pakan ternak yang merupakan modifikasi bentuk cube, dalam proses pembuatannya mengalami proses pencampuran (homogenisasi), pemadatan dengan tekanan dan pemanasan dalam suhu tertentu. Bahan baku yang digunakan terdiri dari sumber serat yaitu hijauan dan konsentrat dengan komposisi yang disusun berdasarkan kebutuhan nutrisi ternak dan dalam proses pembuatannya mengalami pemadatan dengan tekanan 12 kg/cm2 dan pemanasan pada suhu 120°C selama 10 menit (Noviagama, 2002). Adapun keuntungan wafer menurut Trisyulianti (1998) adalah :
1. Kualitas nutrisi lengkap,
2. Bahan baku bukan hanya dari hijauan makanan ternak seperti rumput dan legum, tetapi juga dapat
memanfaatkan limbah pertanian, perkebunan, atau limbah pabrik pangan,
3. Tidak mudah rusak oleh faktor biologis karena mempuyai kadar air kurang dari 14%,
4. Ketersediaannya berkesinambungan karena sifatnya yang awet dapat bertahan cukup lama
sehingga dapat mengantisipasi ketersediaan pakan pada musim kemarau serta dapat dibuat pada
saat musim hujan ketika hasil hijauan makanan ternak dan produk pertanian melimpah.
5. Kemudahan dalam penanganan karena bentuknya padat kompak sehingga memudahkan dalam penyimpanan dan transportasi.

Prosedur Pembuatan Wafer Limbah Sayuran Pasar

a. Pengumpulan limbah sayuran pasar yang akan digunakan sebagai bahan baku wafer.
b. Limbah sayuran dipotong-potong menggunakan mesin forage chopper dengan ukuran 2-3 cm.
c. Limbah sayuran dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 15-17%.
d. Limbah sayuran yang telah kering digiling kasar dengan mesin hammer mill,
e. Kemudian hasil gilingan limbah sayuran ditimbang sebanyak 400 g dan dicampur dengan tetes sebanyak 5% (20 g) dari bahan baku yang dipergunakan hingga bahan-bahan tersebut tercampur dengan rata (homogen).
f. Pencetakan wafer dengan menggunakan mesin wafer yang memiliki ukuran wafer sebesar 20 x 20 x 1,5 cm dan dilakukan pengempaan panas selama 10 menit dengan suhu 120ºC.
g. Pengondisian wafer dilakukan dengan cara membiarkan pada udara terbuka (suhu kamar) sampai kadar air dan beratnya konstan.


Daftar Pustaka:
Marpaung,C.A. 2011. Uji Sifat Fisik dan Evaluasi Kecernaan Biskuit Berbasis Rumput Lapang
dan Limbah Tanaman Jagung Pada Domba. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor.
Soetanto, H. 2012. Kebutuhan Gizi Ternak Ruminansia menurut Stadia Fisiologisnya. Nutrisi
dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, IPB. Bogor.
Syananta, F.P. 2009. Uji Fisik Wafer Limbah Sayuran Pasar dan Palatabilitasnya Pada Ternak
Domba. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor.




Penulis : Dwi Lestari Ningrum, S.Pt (Pengawas Mutu Pakan Ahli Pertama - Direktorat Pakan Ternak)

Mengapa telur setengah matang tidak baik untuk dikonsumsi?

Mengapa telur setengah matang tidak baik untuk dikonsumsi?

Seringkali orang-orang beranggapan mengkonsumsi telur setengah matang itu menyehatkan karena mengandung protein tinggi atau dengan mencampur telur mentah  bersama  minuman jamu dapat menambah kesegaran pada tubuh. Benarkah demikian ? atau malah bisa menjadi bumerang bagi kita ?
Memang, telur memiliki kandungan gizi yang baik dan hampir sempurna, sebab merupakan persediaan pangan selama embrio mengalami perkembangan di dalam telur, tanpa makanan tambahan dari luar. Telur terdiri dari protein 13 %, lemak 12% serta vitamin dan mineral. Protein telur yang dapat diserap dan dimanfaatkan tubuh (nilai biologis) mencapai 96 %. Telur merupakan sumber protein terbaik karena mengandung semua unsur asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh. Asam amino ini sangat dibutuhkan oleh manusia, karena tidak dapat dibentuk sendiri oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi dari makanan. Kandungan gizi sebutir telur ayam dengan berat 100 g terdiri dari protein 12,8 g, karbohidrat 0,7 g, lemak 11,5 g, vitamin dan mineral.
Di balik penampilan kulit yang tampak mulus, telur ternyata mudah rusak akibat bakteri, antara lain oleh bakteri salmonella sp. Genus Salmonella termasuk dalam famili Enterobacteriaceae, adalah bakteri gram negatif berbentuk batang langsing (0.7– 1.5×2-5 μm), fakultatif anaerobik, oxidase negatif, dan katalase positif. Ini merupakan alasan utama, mengapa telur mentah atau setengah matang tidak baik untuk dikonsumsi, karena pada telur terdapat bakteri Salmonella sp.
Telur memiliki komposisi zat gizi yang baik sehingga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri itu sendiri. Kerusakan telur oleh bakteri terjadi karena bakteri masuk ke dalam telur sejak telur berada di dalam maupun telur sudah berada di luar tubuh induknya. Kerusakan telur oleh bakteri sejak berada di dalam tubuh induknya terjadi misalnya induk menderita Salmonellosis sehingga telur mengandung bakteri Salmonella sp. Sedangkan masuknya bakteri ke dalam telur setelah telur berada di luar tubuh induknya misalnya berasal  dari kotoran yang menempel pada kulit telur. Kotoran tersebut diantaranya adalah tinja, tanah atau suatu bahan yang banyak mengandung bakteri perusak. Bakteri ini masuk ke dalam telur melalui kulit telur yang retak atau menembus kulit ketika lapisan tipis protein yang menutupi kulit telur telah rusak dan lubang-lubang kecil yang terdapat pada permukaan telur yang disebut pori-pori. Kerusakan pada telur umumnya disebabkan oleh bakteri yang masuk melalui kulit yang retak atau menembus kulit ketika lapisan tipis protein yang menutupi kulit telur telah rusak.
Dampak dari keracunan bakteri ini adalah diare disertai pusing, demam atau sakit perut. Gejala keracunan salmonella pada manusia biasanya baru terdeteksi setelah 5 sampai 36 jam. Keracunan salmonella diawali dengan sakit perut dan diare yang disertai juga dengan panas badan yang tinggi, perasaan mual, muntah, pusing-pusing dan dehidrasi. Hal ini lebih berbahaya lagi bagi anak-anak atau orang tua yang daya tahan tubuhnya lemah.
Untuk mencegah salmonella, sebaiknya jangan mengkonsumsi telur dalam keadaan mentah atau setengah matang. Proses pemasakan adalah cara yang tepat untuk mencegah salmonella. Pemanasan yang disarankan untuk membunuh Salmonella di dalam makanan umumnya adalah selama paling sedikit 12 menit pada suhu 66°C atau 78-83 menit pada suhu 60°C. Jangan ragu untuk memasak telur sampai matang, karena protein di dalam telur akan terdenaturasi. Denaturasi protein adalah perubahan struktur sekunder, tersier dan kuartener tanpa mengubah struktur primernya (tanpa memotong ikatan peptida). Terjadinya denaturasi protein ini akan meningkatkan daya cerna pada protein tersebut. Denaturasi ini berfungsi :
-Denaturasi panas pada inhibitor tripsin dalam legum dapat meningkatkan tingkat
ketercernaan dan ketersediaan biologis protein legum.
- Protein yang terdenaturasi sebagian lebih mudah dicerna, sifat pembentuk buih dan
emulsi lebih baik daripada protein asli.
- Denaturasi oleh panas merupakan prasyarat pembuatan gel protein yang dipicu panas.
Sumber http://www.disnak.jabarprov.go.id/index.php?mod=detailArtikel&idMenuKiri=&idArtikel=128&action=detail